Total Pageviews

Wednesday, April 24, 2013

Ade sukses karena pantang menyerah

 
Memasuki Kampung Cibeureum RT 08 RW 08, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, terlihat berjajar sekitar 100 kolam terpal warna oranye tempat pembenihan ikan lele sangkuriang. Kampung yang dikenal sebagai sentra perajin sandal ini, kini menjadi sentra usaha pembenihan ikan lele sangkuriang. Ini berkat ketekunan Ade Mulyadi (32), anak kedua dari enam bersaudara pasangan Muchtar (59) dan Rohani (56), sejak dua tahun yang lalu.

Keberhasilan Ade mengembangkan usahanya seperti saat ini tentu tak lepas dari mental bajanya yang pantang menyerah. Meskipun kaki kanannya cacat karena polio sejak usia 3 tahun, dia berhasil mengembangkan usaha pembenihan ikan lele sangkuriang, lele  baru yang kini semakin populer, terutama di Bogor.
Pengembangan usaha baru, yakni pembenihan ikan lele oleh pemuda itu, boleh disebut sebagai pelopor usaha pembenihan ikan di sentra perajin sandal Cibeureum. Usahanya bukan main-main. Ade bersama 4 pekerjanya tiap hari mengawasi, merawat sekitar 100 kolam pembenihan, dan menabur pakan untuk benih ikan secara tepat waktu dan tepat takaran-nya. Kolam ikan itu tampak unik karena dibuat khusus dengan menggunakan terpal warna oranye yang biasa digunakan untuk tenda.
Menurut Ade, usaha pembenihan ikan lele sangkuriang ini diawali dengan kegagalan dalam mengembangkan usaha pembenihan ikan lele dumbo yang dimodali ayahnya. Saat itu, lebih dari Rp 75 juta uang yang dikeluarkan ayahnya untuk modal usaha pembenihan ikan lele dumbo amblas.
Tak pernah dijual, benih ikan itu mati diduga terserang penyakit," kata Muchtar, ayah Ade. Sebelum bergabung dengan anaknya mengusahakan pembenihan lele sangkuriang, Muchtar adalah pedagang di pasar dan perajin sandal.
Belajar
Suatu hari, Muchtar yahg beralih profesi menjadi pembenih ikan lele ini memperoleh keterangan tentang "pendekar lele sangkuriang" Nasrudin, di Kampung Sukabirus, Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Maka, dia pun mendatangi Nasrudin untuk mencari tahu atau "berguru" ilmu perlelean.
Namun, Muchtar tidak lantas berguru secara langsung. Setelah pertemuan dengan Nasrudin dan mendapat gambaran mengenai usaha itu, Muchtar kemudian mengutus Ade untuk mengikuti pelatihan kepada Nasrudin. Setelah itu, Muchtar menyusul bersama dua anaknya yang lain, Wawan dan Trimulyana, untuk menimba ilmu mengenai pembenihan lele.
Ternyata, untuk menimba ilmu tentang lele tidak perlu waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, apalagi bertahun-tahun. Ade mengikuti pelatihan hanya selama 3 hari di pusat pelatihan lele Nasrudin di Kampung Sukabirus. Dia sudah
memperoleh "jurus-jurus" jitu cara memelihara, memberikan pakan, dan mengatasi penyakit ikan secara tepat
Tanpa menunggu waktu lagi, bekal pengetahuan itu langsung diterapkan di lapangan. Kolam-kolam pun dibuat tidak dengan menggali tanah, sebagaimana layaknya kolam ikan yang kita kenal selama ini Mereka menggunakan terpal untuk membuat "kolam-kolam" itu, dan kemudian diisi benih ikan lele sangkuriang. Rupanya tanda-tanda keberhasilan usaha lele itu mulai tampak.
"Berangsur-angsur usaha kami itu, berhasil," kata Ade, akhir Maret lalu. Kematian benih lele seperti yang terjadi saat mengembangkan lele dumbo bisa mereka atasi Perlakuan khusus bisa menekan angka kematian benih. Saat ini, usaha mereka sudah jauh berkembang. Siang itu, misalnya, Ade baru saja melayani pembeli benih lele sangkuriang ukuran 4-6 cm sebanyak 4.000 ekor.
Kewalahan

Diawali dari 10 kolam terpal ukuran 2x4 meter untuk pembenihan, kini Ade yang mengembangkan usaha bersama ayah dan adiknya memiliki sekitar 100 kolam pembenihan ikan lele sangkuriang. Muchtar sendiri juga memiliki sekitar 10 kolam pembesaran ukuran 10 x 10 meter.

Satu paket induk lele sangkuriang terdiri dari 10 betina dan 5 jantan. Ade membeli induk lele pada Nasrudin seharga Rp 800.000 per paket Sejak menetas sampai dipanen, usia benih ikan lele sangkuriang ukuran 4-6 cm butuh waktu sekitar 50 hari. Setiap ekor induk lele sangkuriang bisa menghasilkan 70.000-100.000 ekor benih.

"Saat ini, setiap bulan kami baru bisa menjual 300.000 benih dengan harga Rp 150 per ekor," kata Ade. Pesanan benih lele memang terus mengalir.

Namun, tidak semua pesanan itu mampu dipenuhi Ade mencontohkan, adanya permintaan benih sebanyak 1 juta ekor setiap bulan dari pembeli warga Tangerang, Banten, tetapi permintaan itu tidak sanggup mereka penuhi

"Untuk melayani peternak ikan lele sangkuriang di daerah Kabupaten/Kota Bogor dan sekitarnya saja, kami masih kewalahan," kata Ade. Melihat kondisi seperti itu. Ade mencari jalan keluar dengan menyiapkan 10 orang binaan sebagai pembenih ikan lele sangkuriang.

Sementara Muchtar yang memiliki 10 kolam pembesaran mengisi kolamnya dengan 10.000 ekor benih ukur 4-6 cm. Dari 10.000 benih ini, setelah 45 hari dapat dipanen 1 ton ikan lele ukuran 6-7 ekor per kg. Harga jualnya saat ini Rp 10.500 per kg. "Dari panen 1 ton ikan itu, dipotong pakan dan biaya pemeliharaan, masih ada keuntungan sekitar Rp 3 juta," kata Muchtar.

Ade dan ayahnya, sebagai keluarga pelopor usaha pembenihan ikan lele di sentra Perajin Sandal Cibeureum ini, sekarang sering menerima kunjungan tamu yang ingin belajar budidaya ikan lele sangkuriang, baik untuk pembenihan maupun pembesaran. "Kami dengan senang hati menjelaskan bagaimana caranya menjadi pembudidaya ikan lele sangkuriang," kata Ade.

Dia mengatakan, pihaknya memang berkonsentrasi di bidang pembenihan untuk memasok mereka yang berusaha di bidang pembesaran lele sangkuriang. "Lebih menguntungkan jadi pembenih daripada pembesar ikan," kata Ade, seraya menambahkan bahwa kerugian puluhan juta rupiah yang dideritanya dua tahun yang lalu berangsur-angsur dapat ditutupi dari keuntungan penjualan benih ikan.

Fauzan, sukses berkat lele sangkuriang

 
Berani mencoba alias tidak takut gagal adalah prinsip yang mengantarkan Fauzan Hangriawan sukses menjadi pengusaha lele sangkuriang di Jakarta. Dengan modal terbilang minim, pemilik Sylva Farm Bangun Bangsa ini berhasil mengembangkan bisnis lele hingga meraup omzet ratusan juta sebulan..
Pria kelahiran Pontianak 26 tahun silam ini memang doyan berbisnis sejak masih remaja. Ketika duduk di bangku SMP di Lampung, Fauzan kerap membantu orang tuanya berjualan kelapa dan beras. Lalu, sejak SMA, dia memberanikan diri membuka bisnis sendiri. Mulai dari berjualan sepatu, kuliner, hingga usaha percetakan, dilakoninya.
Meski bisnis itu tidak pernah bertahan lama, Fauzan tidak kapok mencoba. Pada 2009, pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Jakarta, ini kembali mencoba bisnis baru yang belum pernah digeluti sebelumnya, yakni membudidayakan lele. "Pengetahuannya saya tentang budidaya lele sangat terbatas waktu itu. Tapi, saya bertekad mencobanya," ceritanya.
Bermodal Rp 1,5 juta dari kocek sendiri, dia membelanjakan 1.000 bibit lele, pakan lele, dan terpal untuk pembuatan kolam di belakang rumah. Lantaran, belum tahu banyak soal budidaya lele, tingkat kematian lele sangat besar. Ketika itu, hanya 40 persen bibit lele yang mampu bertahan.
Meski begitu, selang tiga bulan, Fauzan berhasil menikmati hasil panen pertamanya sebanyak 40 kg lele. Melihat hasil yang cukup menggiurkan, Fauzan memutuskan untuk serius menggeluti budidaya lele sangkuriang. Tak heran, dia belajar lebih mendalam soal budidaya lele.
Apalagi, kata Fauzan, kala itu, lele sangkuriang merupakan varietas yang unggul. Bahkan, hasil riset pemerintah yang ia baca menyebutkan, masa panen jenis lele ini lebih cepat, yakni hanya dua bulan. Daya tahan terhadap penyakit dan perubahan suhu pun lebih baik dibandingkan jenis lain, seperti lele dumbo.
Fauzan tidak sendiri mengembangkan bisnis lele sangkuriang. Selain mempekerjakan delapan karyawan, dia juga bermitra dengan 30 petani binaan di Jakarta dan Bogor melalui sistem kolam plasma. "Saya mendampingi mereka, sehingga hasil panen bisa maksimal,” ujarnya.
Kini, dalam sebulan, Sylva Farm bisa memproduksi 600.000 ekor bibit lele. Harga bibit ditentukan berdasar ukuran. Misal, bibit berukuran 5-6 centimeter (cm) dibanderol Rp 160 per bibit. Sementara, bibit ukuran 7-8 cm dijual Rp 200 per bibit.
Tak hanya itu, saban hari, Fauzan juga memproduksi 3- 4 kuintal lele berukuran siap konsumsi seharga Rp 17.000 per kilogram. Jadi, saban bulan, dia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 200 juta. Pelanggannya tak hanya tersebar di wilayah Indonesia, tapi juga dari Bangladesh dan Malaysia.

Dari hobi
Kisah sukses Fauzan Hangriawan berbisnis lele, sejatinya berawal dari hobi. Sejak remaja, dia suka memelihara ikan air tawar. Belakangan, dia juga melihat prospek bisnis lele sangat menjanjikan. Meskipun sudah cukup banyak yang terjun ke usaha pembibitan lele, namun permintaan terus tumbuh.

Kala itu, karena tidak puas dengan hasil panen lele perdananya, Fauzan berupaya mencari cara supaya ternak lelenya bisa berkembang. Pada November 2009, ia mulai berguru pada Nasrudin, petani lele sangkuriang di Bogor.

Nah, dari Nasrudin pula, Fauzan melihat peluang keuntungan yang lebih besar dari jenis lele sangkuriang. Supaya lebih mahir memelihara jenis lele ini, dia belajar langsung dari pusat lele sangkuriang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi.

Banyak hal baru yang diperoleh Fauzan dari hasil belajar kepada Nasrudin. Sudut pandangnya pun berubah. Yang tadinya hanya sekadar menyalurkan hobi beternak, kini ia memandang bisnis dari sudut yang lebih luas. Secara teknis, siklus panennya pun semakin cepat. Kalau dulu, satu siklus panen butuh waktu tiga bulan, kini menjadi dua bulan saja.

Tak hanya itu, Fauzan juga memiliki visi untuk membantu orang yang menganggur di sekitar rumahnya. "Makanya, saya mulai mengajak mereka terjun ke usaha ini dengan pola kemitraan," tuturnya.

Dia juga terus berusaha menjaga kualitas produksi lele. Alhasil, nama Sylva Farm Bangun Bangsa kian dikenal sebagai pembudidaya lele sangkuriang.
Fauzan juga berupaya meningkatkan pelayanannya kepada pembeli. Dia juga  tidak pelit dan bersedia berbagi ilmu mengenai cara  budidaya lele pada setiap pembeli. “Saya berpikir, setiap orang yang beli benih lele dari saya, harus bisa membudidayakannya sampai panen,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, cara pemasaran juga dibuat lebih rapih. Fauzan menjual benih lewat internet dan pameran-pameran wirausaha. Dia pun mengaku, tampil di media massa menjadi salah satu cara pemasaran yang ampuh untuk menggenjot penjualan.

Namun, perjalanan mengembangkan bisnis bukan tanpa kendala. Kendala terbesar yang pernah dialami Fauzan adalah kekurangan lahan kolam. Maklum saja, lahan kosong di Jakarta sudah sangat jarang. Maka Fauzan akan mengembangkan usahanya di Bogor. Meski cukup jauh dari kediamannya, Fauzan melihat potensi daerah ini cukup besar.

Kesulitan lainnya yang kerap dialami adalah kondisi cuaca. Pria 26 tahun ini bilang, perubahan suhu atau cuaca yang kerap tak menentu sering merepotkan. Misalnya, saat musim hujan, air hujan membawa kandungan asam. Ketika air hujan dengan derajat keasaman cukup tinggi itu jatuh ke kolam lele,  tingkat keasaman alias pH air pun akan berubah.

"Standar keasaman pH air untuk kolam lele itu harus 6 - 8, tapi saat hujan turun, pH-nya bisa turun ke level 5. Ini bisa mengakibatkan kematian pada lele,” bebernya.

Kendala lainnya, yaitu karakter pembudidaya. Menurut Fauzan, tidak semua petani punya perhatian khusus pada lele yang dipeliharanya. "Ini tantangan bagi saya, mengubah petani menjadi pebudidaya yang memiliki rasa kasih sayang terhadap lele sebagai makhluk hidup," ucapnya.

Menjadi pebudidaya lele sejak tahun 2009, Fauzan Hangriawan kini telah sukses meraup omzet hingga ratusan juta rupiah. Lewat pola kemitraan, usahanya telah membawa dampak sosial yang positif bagi lingkungan sekitarnya.
Fauzan mengaku, kini banyak tetangga yang menjadi mitra binaannya, dan hidup lebih sejahtera. Bahkan, selain petani binaan di Jakarta, Fauzan juga telah merambah di wilayah Bogor, Jawa Barat.
Fauzan menjelaskan, sebelum menjadi petani lele, mitra binaan Fauzan, para petani tersebut dulunya bertanam tanaman palawija. “Saya senang bisa berbagi pada mereka,” tuturnya.
Hingga saat ini, Fauzan rajin melakukan pendampingan usaha kepada para petani binaannya itu. Belakangan ini, ia menyosialisasikan penggunaan teknologi bioflok yang selama ini lebih populer untuk budidaya udang.
Namun, ia sedang mencoba menerapkan bioflok untuk budidaya  lele. “Kalau berhasil, bioflok bisa meningkatkan produksi lele hingga empat kali lipat,” katanya.
Ke depan, ia merencanakan produksi lelenya, termasuk milik mitra binaan bisa mencapai lima hingga 10 ton per hari. Bila produksi lele sudah berhasil digenjot dalam jumlah itu, Fauzan  berniat ekspansi dengan merambah usaha olahan lele.
Salah satu komoditas olahan lele yang kini diliriknya adalah sarden lele. Ia tertarik lantaran produk olahan lele ini belum pernah ada di pasaran. Sementara permintaannya sudah ada. “Kami sudah punya peminat di Taiwan,” ucapnya.
Ia berambisi, rencana ini bisa terealisasi dalam waktu dua hingga tiga tahun mendatang. Untuk mendukung rencana ekspansinya itu, Fauzan pun gencar menggandeng petani sebagai mitra binaan. "Saya mau fokuskan produksi di Bogor, sementara Jakarta pemasaran,” ujarnya.
Wajar kalau Fauzan menargetkan banyak hal ke depan. Soalnya, kinerja usaha nya terbilang cukup maju. Ketekunannya berbuah.  Terbukti, ia pernah menyabet beberapa penghargaan. Dari Bank Mandiri.  Ia keluar sebagai juara pertama Wirausaha Muda Mandiri  2010.
Setahun kemudian,  ia juga mendapat penghargaan Wirausaha Sukses dari Kementerian Koperasi dan UKM.

Murti menembus ekspor dengan abon lele


Ikan lele ternyata tak hanya dapat diolah sebagai menu masakan berkuah atau digoreng dengan bumbu sambal pedas. Di tangan Murti Rahayu, daging lele dapat dibuat abon dengan nilai ekonomi yang menggiurkan. Bahkan, abon lele buatannya kini mampu menembus pasar ekspor.

Awalnya coba-coba. Ternyata rasanya tak kalah sama abon sapi. Banyak orang suka,” kata Murti, pengusaha kecil asal Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, akhir April 2010.

Selain dikenal sebagai daerah pertanian yang subur, wilayah Majenang sejak lama juga dikenal dengan perikanan daratnya. Air yang melimpah mendukung pengembangan usaha mina tersebut. Salah satu jenis ikan yang banyak dibudidayakan warga setempat adalah lele.

Namun, melimpahnya lele kerap tak ditunjang pemasaran dan kestabilan harga. Banyak petani lele pun jatuh bangun.

Kondisi tersebut menjadi keprihatinan tersendiri bagi Murti yang juga menjadi Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Kecil Majenang. Pada pertengahan tahun 2007, dia terpikir membuat penganan olahan dari lele yang dapat dijual kemasan dan punya nilai ekonomis tinggi.

”Bayangan saya yang pertama adalah mengolah lele menjadi abon. Daging sapi saja bisa jadi abon, kenapa lele tidak,” tutur ibu tiga anak ini.

Kebetulan, di rumahnya, sejak lama Murti membuka warung lesehan dengan menu aneka masakan ikan air tawar. Jadi, mengolah lele bukan hal baru.

Dibantu putri bungsunya, Indira K Paramita (29), Murti pun bereksperimen abon lele. Percobaan awal ini tak sepenuhnya berhasil. Sulit mengurangi tingginya kandungan minyak pada abon lele. Abon pun cepat tengik atau basi.

Selang beberapa hari, dia menemukan mesin pres tangan untuk mengurangi minyak. Sejak itu Murti berani menawarkan abon lele buatannya kepada teman dan tetangganya. Respons mereka positif. Abon lele Murti tak kalah dengan abon sapi.

Murti pun kian percaya diri. Tiga bulan setelah eksperimen, Murti mulai memasarkan abonnya yang bermerek Nazelia itu ke supermarket di Majenang dan Cilacap. Respons pasar lumayan. Dalam tiga hari abon lele itu ludes. Permintaan pun mengalir. Dia menjual abonnya seharga Rp 13.000 per satu kemasan plastik seberat 1 ons atau 100 gram.

Murti kian serius menekuni usaha abon lele. Selain celah pasar yang ada, usaha abon lele tak membutuhkan modal yang besar pada tahapan awal. Hal ini tak terlepas dari relatif murahnya harga ikan lele di Majenang.

Harga ikan lele hanya Rp 11.000 per kilogram (kg). Setiap kilogram menghasilkan 3 ons abon. Tiap 1 ons dijual Rp 13.000 sehingga keuntungan kotor tiga kali lipat. Keuntungan itu dikurangi biaya minyak goreng dan plastik kemasan. ”Untung bersihnya 30-50 persen,” ungkap Murti.

Selain dagingnya, kulit lele dimanfaatkan menjadi keripik. Namun, jumlahnya sangat terbatas. Dari 10 kg lele, hanya menghasilkan sekitar 15 bungkus keripik ukuran 100 gram. Keripik lele ini hanya jadi usaha sampingan Murti.

Tak sulit membuat abon lele. Daging ikan lele dibumbui seperti dendeng dengan ketumbar, merica putih, bawang putih, dan garam serta gula. Setelah direbus dengan bumbu hingga meresap, barulah digoreng kering.

Daging lele dipres hingga seluruh minyaknya keluar dan tersisa serbuk halus kecoklatan. Rasanya manis gurih dengan aroma bawang dan ketumbar yang kuat. Ada pula yang dicampur dengan bawang merah goreng, seperti lazimnya abon sapi.

Abon lele dikemas dalam plastik berlabel. Setiap saat bisa dinikmati. Dengan rasanya yang gurih, abon ini cukup ditaburkan di atas nasi atau ketan hangat sebagai lauk.

Hingga enam bulan pertama, kapasitas produksi abon lele Murti hanya 3 kilogram lele per hari. Namun, seiring permintaan yang terus meningkat dan pemasaran yang kian luas ke kota-kota besar, seperti Yogyakarta, Semarang, dan Purwokerto, kebutuhan bahan baku lele pun terus bertambah.

Apalagi, setelah dia mampu membeli mesin pres dari Surabaya, Jawa Timur, seharga Rp 2 juta, Murti kian percaya diri memasarkan produknya lebih luas. Dengan mesin baru itu, kualitas abonnya kian tinggi. Saat itu izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan sudah dikantonginya. Sertifikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah menyatakan bahwa abon lelenya halal.

Pada pertengahan 2008, Murti menjadi mitra binaan PT Pertamina Cilacap. Selain membantu permodalan melalui kredit lunak, badan usaha milik negara tersebut juga membantu pemasaran dengan cara memfasilitasi mitra binaannya mengikuti pameran-pameran.

”Saya sangat bersyukur bisa difasilitasi mengikuti pameran. Rasanya tak mungkin kalau ikut pameran sendiri karena biayanya sangat mahal. Buat ongkos transpor, sewa stan, dan akomodasinya tinggi,” ujarnya.

Pameran produk kerajinan usaha kecil yang pernah diikutinya, di antaranya, adalah di Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

Keikutsertaan dalam aneka pameran tersebut sangat membantu Murti dalam memperkenalkan produknya kepada masyarakat. Pernah dalam sebulan dia mendapat kesempatan tiga kali pameran. Selain dapat memperkenalkan produknya, pada saat pameran Murti juga dapat menjual abonnya dalam jumlah lumayan besar.

Sayangnya, langkah kreatif Murti lewat abon lele itu kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat. Jangankan bantuan kredit, fasilitas mengikuti pameran pun tak pernah ada. ”Pernah diajak pameran sampai pemda, tetapi semua biaya kami yang menanggung. Malah tombok. Padahal, katanya sudah ada dana dari APBD. Bukannya kami pelit, tetapi kami ini hanyalah perajin kecil. Toh, kalau produk kami dikenal, yang dapat nama pemda juga,” katanya.

Sejak tahun 2009, produksi abon lele Murti rata-rata per hari menghabiskan 10 kilogram lele atau 500 kilogram lele per bulan. Pasarnya pun kian luas hingga Jakarta, Bandung, dan Denpasar.

Untuk 10 kilogram lele dapat diolah menjadi 3 kilogram abon. Dalam sehari, rata-rata Murti dapat menghasilkan penjualan kotor Rp 300.000-Rp 400.000.

Saat pameran produk-produk khas Nusantara di Jakarta pada pertengahan 2009, produk abon lele Murti dilirik konsumen luar negeri. Salah satunya seorang distributor makanan asal Belanda. Sejak saat itu Murti mulai dapat mengekspor abon lelenya ke Negeri Kincir Angin itu.

Dalam sebulan, rata-rata dia dapat mengekspor 10 kilogram abon lele ke Belanda. Ekspor tersebut dilakukan melalui distributor di Jakarta.

”Daging ikan lele mengandung protein dan rendah lemak sehingga bisa dikonsumsi oleh mereka yang berdiet lemak. Karena itulah, orang dari Belanda itu suka abon lele saya,” katanya.

Sebenarnya, selain dari Belanda, ada permintaan abon lele dari negara lain. Namun, karena belum memahami prosedur ekspor dan modal yang terbatas, dia belum berani mengambil kesempatan tersebut.

Meski demikian, dia sudah sangat bersyukur dengan apa yang diraihnya saat ini. Dia tak menyangka abon lelenya yang dibuat dengan cara sederhana itu kini melanglang buana hingga ke Eropa.

”Jumlahnya, sih, memang belum banyak, tetapi saya sudah sangat senang karena abon lele saya disukai banyak orang, bahkan sampai di luar negeri,” kata Murti

Peluang Usaha, Abon LeleQu Tawarkan Bisnis dengan Omzet 5 Juta per Bulan

 Memilih usaha sampingan memang gampang-gampang susah. Anda harus bisa memilih yang cocok dan menghasilkan untung besar. Mungkin, dengan membuka usaha di bidang makanan bisa menjadi referensi Anda.
Namun, bila ingin produk dilirik, tak jarang banyak orang memilih sesuatu yang unik, kreatif, dan berinovasi tinggi. Nah, tak ada salahnya jika mencoba menjadi agen atau reseller dari abon lele bermerek LeleQu. Ya, abon lele ini adalah sebuah brand bisnis makanan yang menggunakan bahan dasar ikan lele.
Tak hanya untuk dan sekadar dipasarkan saja, perluasan makanan ini dinilai menjadi salah satu satu sarana untuk melestarikan warisan kuliner nusantara yang beraneka ragam. Visi perusahaan ini adalah ingin menjadi salah satu makanan khas dari Tegal, sebelumnya maskot dari Tegal yang kita tahu yakni warteg dan bawang.
Sang pemilik LeleQu, Nopi Sugianto mengaku, dia hanyalah seorang petani lele. Tak jarang dirinya menemui banyak kendala ketika menjalani profesi tersebut, yakni pertumbuhan yang tidak merata dari ikan lele. Terkadang ada yang besar, ada juga yang kecil.
Menurut dia, ikan lele yang laku untuk dijual adalah yang berukuran 14-15 sentimeter (cm). “Oleh karena itu, ikan lele yang tidak dapat dijual saya olah menjadi abon lele,” ungkap Nopi.
Nopi menceritakan, abon lelenya bermerek LeleQu berdiri pada Juni 2011. Pada mulanya dia beserta komunitas petani lele yang berada di Tegal bingung terhadap lele yang sudah tidak dapat dijual lagi. Kemudian tercetuslah ide membuat abon ini.
Demi memuluskan niatnya, dia mengajukan pinjaman ke Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Pihak PNPM pun meminjamkan modal sebesar Rp10 juta untuk memulai usaha abon lele ini.
“Dengan modal dari PNPM sebesar Rp10 juta, saya mendapatkan omzet per bulannya sekira Rp3 juta-Rp5 juta,” ungkapnya.
Dia menambahkan, LeleQu untuk saat ini mempunyai dua rasa, yakni rasa original dan rasa pedas, serta kemasannya pun hanya 100 gram (gr) dan 250 gr dengan masing-masing harga yang dibanderol sebesar Rp25 ribu dan Rp60 ribu.
Dituturkannya, pemasaran LeleQu saat ini melalui delapan agen yang tersebar, yakni di Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Tangerang Kota, Tangerang Selatan, Bogor, Purwokerto, Banyumas, dan Tegal.
“Jika ada yang mau menjadi agen atau reseller bisa menghubungi langsung ke daerah-daerah yang sudah menjadi agen LeleQu, dengan modal sebesar Rp10 juta bisa menjadi agen atau reseller,” kata Nopi.
Nopi juga mengatakan, dari program pemasaran berbasis agen ini, ia telah mendapat keuntungan sebesar 20 persen. Nopi pun berharap bahwa LeleQu bisa menjadi peluang Usaha yang baru dan menarik.
“Nilai gizi ikan lele termasuk tinggi dan baik untuk kesehatan, karena tergolong makanan dengan kandungan lemak yang relatif rendah dan mineral yang relatif tinggi. Kandungan lemak ikan lele hanya dua gram, jauh lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi (14 gr) dan daging ayam (25 gr). Selain kaya zat gizi, lele juga membantu pertumbuhan janin dalam kandungan dan sangat baik bagi jantung karena rendah lemak,” pungkasnya.

Mengenal jenis kolam lele untuk budidaya

Tentu saja setiap kolam ada untung ada ruginya, kita akan membahas kolam mana yang lebih baik untuk anda jadikan kolam untuk budidaya lele.
 
1. Kolam Beton
Kerugian memilih kolam beton /  kolam semen adalah selain biaya pembuatannya yang mahal kolam beton juga sama dengan kolam terpal, contoh : 1 pembuatan kolam beton ukuran 5 x 2 dapat menghabiskan biaya  Rp. 2.450.000, sedangkan Rp. 2.450.000. Dapat membuat 4 kolam terpal dengan ukuran yang sama.
Keuntungannya adalah lebih kuat, lebih awet dan lebih tahan lama

 






2. Kolam terpal
Keuntungan memilih kolam terpal adalah biayanya yang relatif murah dan pembuatannya yang lebih praktis dan lebih cepat
sedangkan kerugiannya adalah kolam terpal dapat bolong karena digigit tikus, kerangka kolam terpal yang terbuat dari bambu dapat lapuk sehingga tidak dapat menopang kolam lebih lama.

   3. Kolam tanah
keuntungan dari kolam tanah adalah tidak memerlukan biaya untuk pembuatan kolam, hanya biaya untuk jasa tukang yang menggali tanah, dan pembuatannya yang lebih praktis.
Kerugian kolam tanah adalah ikan bisa menggali lobang yang ada pada tanah sehingga ikan bisa menghilang, dan kemungkinan ada hama seperti kodok dan ular yang dapat memakan banyak benih ikan sekaligus.

Itulah kerugian dan keuntungan memilih kolam. Kalau saya sih lebih baik kolam terpal, tentukan pilihan anda :)

Ternak Lele Cuma 2 Bulan Panen

Saya baru tau bahwa ternak lele itu sangat menguntungkan dan sangat menyenangkan, apalagi kalau memberi makan lele, alama.......... semua kesusahan, kesulitan, kesedihan dan kacau balau akan kepadatan ibukota smuanya sirna.

Dan tidak terlalu sulit untuk ternak lele kalau ada air yang melimpah dan tanah kosong yang cukup luas dan kita punya niat maka smua tidak ada kata sulit, tp klu ternak lele dibuat untuk coba2 saya yakin tidak akan berhasil, karena ternak lele membutuhkan semangat yang kuat didalam jiwa dan raga untuk berternak lele, selain itu berternak lele dapat menjadi hiburan tersendiri untuk hasil sangat memuaskan, dan ternak lele tidak membutuhkan biaya yang banyak cukup 4 juta kita bisa ternak lele dengan hasil yang memuasakan dan keuntungan yang besar, dijamin kalau punya niatan yang kuat 3 x panen sudah kembali modal, saya sekali panen 2 bulan, tp normalnya 3 bln, nggak percaya buktikan dan silakan ternak lele,ingin tau caranya ?

cara 1

1. siapkan lahan minimal luasnya 12m x 8m
 
2. buat lahan tersebut menjadi 4 bagian, 2 bagian 3m x 4m, dan dua bagian lagi 3m x 5m
 
3. buatlah rancangan pagar persegi yang terbuat dari bambu seperti ukuran diatas untuk tempat terpal ( biaya kurang lebih 500 ribu )
 
4. siapkan terpal plastik ukuran 5m x 6m = 2 buah dan ukuran 5m x 7m = 2 buah ( harga 600 ribu )
 
5. kalau terpal sudah siap maka kita bisa mengisi air didalam terpal ketinggian 30 cm,diamkan selama 3 hari kemudian dibuang airnya. dan kita isi lagi terpal tersebut dengan air dengan ketinggian 50 cm
 
6. kemudian kita bisa memupuk kolam dengan cara memasukan pupuk ke dalam karung dan gantungkan karung tersebut selama 4 hari, hal ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan jasad - jasad renik untuk makanan alami lele secara optimal
 
7.kemudian kita bisa beli bibit lele sangkuriang di peternak ataupun di BBPBAT (Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi ). usahakan bibit lele ukuran 6 - 8 cm harga @Rp. 135 per ekor ( 10.000 ekor x 135 = Rp 1.350.000 )
 
8.beli pakan pelet 8 karung harga @ Rp.200rb (NB : diberi pakan tambahan, seperti bangkai ayam, bekicot, keong, ikan rucah dll
 
9. Dan dalam kurun waktu 2 - 3 bln kita sudah siap panen, biasanya hasil panen minimal 600 kg maksimal 900 kg, dan rata2 750 kg, ( 750 kg x 9.000 = Rp. 6.750.000 ), dan hasilnya (laba) anda Rp.2.750.000
 
10. Selamat mencoba semoga berhasil :)
 
Catatan :
- Beri makan lele sampai pelet tersisa 3 atau 4 di permukaan kolam yang menandakan lele sudah kenyang tetapi jangan sampai kekenyangan
- Jika lele mengapung bisa disebabkan 2 faktor yaitu, kekenyangan dan kualitas air yang buruk. 
- Jika kualitas air sudah buruk harap cepat diganti agar dapat meminimalkan angka mortalitas pada ikan lele
- Beri makan ikan lele jangan sebelum jam 9 karena jika sebelum jam 9 masih terkandung polusi - polusi yang terdapat pada air yang belum terbakar matahari otomatis pakan lele bercampur dengan polusi dan dapat menyebabkan penyakit radang insang
- Jam makan yang baik pada ikan lele : jam 9 pagi, jam 12 siang, jam 15 sore, jam 17 sore, jam 19 malam, jam 22 malam